MASKAWIN
DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
A. PENDAHULUAN
Maskawin
adalah pemberian wajib dari seorang calon suami kepada calon isterinya karena
akad nikah baik itu berupa uang atau barang (harta benda) atau jasa[1],
sebagaimana pemberian nafakah suami kepada isterinya. Persoalan yang sering
muncul pada pemberian maskawin dari calon suami kepada calon isterinya adalah
batas minimal dan batas maksimal maskawin itu diberikan. sehingga ada ungkapan
wanita yang baik adalah yang mudah maskawinnya.[2] Sedangkan
Pria yang baik adalah Calon suami yang memberikan maskawin semaksimal mungkin
atau setinggi-tingginya.
Kebiasaan
yang terjadi di Masyarakat tentang pemberian maskawin berupa seperangkat
alat Sholat, bahwa maskawin itu adalah harus dari barang perhiasan berupa emas
sesuai dengan sebutan “maskawin”, sering menjadi kontroversi. Sepertinya setiap
daerah memiliki kekhasan sendiri dalam memberikan maskawin seperti di Mesir
dengan memberikan rumah flat dan isinya.
Untuk
memberikan solusi sekaligus kompromi atas kontroversi tentang
maskawin makalah ini akan mengupas persoalan maskawin dari sisi/
Perspektif Syari’i dengan sistematika terdiri dari Pendahuluan, Makna
maskawin, Prinsip-prinsip pemberian maskawin menurut al-Quran dan al-Hadits dan
kesimpulan.
B. Pengertian Maskawin
Mahar atau Mas
kawin adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau
keluarganya) kepada mempelai perempuan (atau keluarga dari mempelai perempuan)
pada saat . Di Indonesia sebutan mahar
hanya terbatas pada pernikahan an sich. Secara bahasa mahar diartikan nama
terhadap pemberian tersebab kuatnya akad , secara istilah syari`at mahar adalah
sebutan bagi harta yang wajib atas orang laki-laki bagi orang perempuan sebab
nikah atau bersetubuh (wathi).[3]
1. Sebutan Lain Maskawin atau
mahar
Banyak term tentang maskawin yang ditemui dalam literal
Al Qur`an, hadits dan ungkapan orang arab untuk mengistilahkan mahar adalah
sebagai berikut ; [4]
01. Shadaq صداق
02. Mahar مهر
03.
Nihlah نحلة
04.
Faridhahفريضة
05. Ajrأجر
06.
`Uqr عقر
07.
`Alaiq علائق
08. Khurs خرس
09.
Thaul طول 10. Athiyah عطية
11.
Nikah نكاح
12. Hibâ حباء
Didalam
al- Quran maskawin disebut dengan shadaq, nihlah, faridhah. Thaul dan
ajr.[5] Dan
didalam As-Sunah disebutkan dengan mahar, ‘aliqah, dan
‘aqar. Shadaq (maskawin) berasal dari kata Shadq artinya
sangat keras karena bayarannya sangat mengikat sebab maskawin tidak dapat gugur
dengan rela-merelakan (taradhi).
2. Nama-nama Mahar yang di sebutkan dalam Al Qur`an.
1. Al
Qur`an Surat Al Baqarah ayat 236:
لاَّ
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ
تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً
"Tidak
ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu
sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan
maharnya…"
2. Al
Qur`an Surat An Nisa ayat 4:
وَآتُواْ
النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
"Berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan…" Nihlah artinya pemberian ,Disebut
nihlah karena seorang perempuan bersenang-senang dengan suami seperti halnya
suami juga. Bahkan perempuan lebih banyak mendapat kesenangan seakan-akan ia
mengambil maskawin tanpa imbalan apapun.
3. Al
Qur`an Surat An Nisa` ayat 25:
وَمَن
لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلاً أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ
فَمِن مِّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
"Dan
barang siapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya
untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang
beriman, dari budak-budak yang kamu miliki."
4. Al
Qur`an Surat An Nisa` ayat 25:
فَانكِحُوهُنَّ
بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"… Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan
berilah maskawin mereka menurut yang patut, .."
5. Al Qur`an Surat An Nur ayat
33:
وَلْيَسْتَعْفِفِ
الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ
"Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah
menjaga kesucian (diri) nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan
karunia-Nya…"
Nikah disini menurut sebahagian ulama berarti mahar
musamma (nahar yang disebutkan saat akad nikah) .
3. Hukum-Hukum Maskawin atau Mahar Dalil diwajibkannya mahar dalam Al Qur`an
1) Al Qur`an Surat An Nisa ayat
4: وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ
نِحْلَةً
"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang
kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan…" Yang menjadi mukhatab (objek) dalam perintah ini adalah
suami. Karena suami yang diwajibkan untuk membayar mahar. Pendapat lain
mengatakan bahwa yang menjadi mukhatab (objek) adalah para wali perempuan. Karena para wali biasanya mengambil mahar tersebut tanpa
menyerahkan ke pada anak perempuannya. Dan mereka menamakannya dengan nihlah.
Karena mereka dapat menikmati mahar yang telah diberikan. Namun yang menjadi
pijakan kita adalah kewajiban untuk memberikan mahar berdasarkan perintah Allah
di dalam ayat ini.
2) Al
Qur`an Surat An Nisa` ayat 25: فَانكِحُوهُنَّ
بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
3) "… Karena
itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka
menurut yang patut, .."
Sunnah
Sabda Rasul Saw kepada seorang sahabat yang berkeinginan
untuk menikah "Usahakanlah
olehmu meskipun cincin yang terbuat dari besi" (HR. Bukhari)
Ijma`
Telah sepakat umat sejak zaman Rasul Saw. sampai hari ini
untuk wajib membayarkan mahar kepada istri. Karena itu Mahar adalah satu
diantara hak istri yang didasarkan pada kitabulloh , Sunnah dan Ijma.[6]
Tujuan mahar
1. Sebagai hadiah yang berbentuk
finansial wujud tanda cinta. Mahar
Untuk mendekatkan hati kedua belah pihak. Pemberian ini adalah bentuk kebajikan
dan menunjukkan keikhlasan pemberinya untuk melakukan akad nikah. Dalam
kehidupan rumahtangga, secara asal tugas masing-masing suami dan istri sudah
jelas. Suami berfungsi sebagai petarung di luar rumah untuk mencari nafkah dan
istri berada dirumah untuk mengelola rumah tangga dan mendidik anak. Oleh karena
itu semua tanggungjawab yang berhubungan dengan finansial dibebankan kepada
suami. Maka wajar pemberian bersumber dari suami.
2. Bekerjasama dalam
mempersiapkan sebuah suasana indah yang harmonis saat memulai kehidupan
rumahtangga.
Sudah menjadi lazim bahwa sang istri berpindah dari rumah
orangtuanya ke rumah baru yang disediakan oleh suami untuk menjalankan
kehidupan rumahtangga. Sang istri tentu saja butuh pakaian, perhiasan dan
wangi-wangian yang layak baginya. Oleh karena itu sudah semestinya bila suami
membantu si istri dalam memenuhi kebutuhan tersebut.
3. Bekerjasama dalam memenuhi
perkakas ruamhtangga.
Pada sebagian adat masyarakat bahwa perempuan mempunyai
kewajiban untuk menyediakan perkakas rumahtangga yang dibutuhkan. Oleh karena
itu adalah suatu kewajiban bagi suami untuk membantu si istri untuk memenuhi
kebutuhan tersebut secara bersama-sama.
4. Agar suami menghormati ikatan
pernikahan dan berpikir matang untuk melakukan thalaq.
Semakin sulit mendapatkan istri, maka
posisi si istri akan semakin mulia dan berharga dalam pandangan suami. Dalam
sebuah ikatan pernikahan yang mempertemukan dua insan yang berbeda dan tidak
saling kenal sebelumnya bisa saja akan terjadi percekcokan. Sudah lazim
terjadinya masa adaptasi yang membutuhkan kesabaran. Perangai kedua belah pihak
sangat berpotensi untuk mengancam keutuhan akad pernikahan. Jika suami
memberikan mahar dalam jumlah yang besar, maka dia akan berpikir panjang untuk
melakukan tindakan gegabah dengan memutuskan thalaq..
Hak siapakah mahar itu?
Mahar wajib diberikan oleh suami kepada istri. Mahar
merupakan hak istri. Istri berhak menentukan maharnya dan boleh juga
menyerahkan ketentuan maharnya kepada, wali, suami dan hakim. Mahar yang ada
ditangannya merupakan jaminan untuk menghadapi perubahan perekonomian, musibah,
dan berbagai kebutuhan lainnya. Inilah hikmah ilahiyyah yang perlu menjadi petimbangan
dalam memberikan mahar.
Namun perlu dicatat bahwa tidak boleh kedua belah pihak
untuk sepakatmenggugurkan adanya mahar. Karena mahar adalah hak istri, maka
setelah memiliki hak terhadap mahar tersebut, sang istri boleh saja
menggugurkan dan membebaskan kewajiban suami untuk membayar mahar yang masih
sebagai hutang. Istri juga berhak untuk menghibahkan mahar kepada suaminya atau
kepada orang lain dengan mengikuti ketentuan hibah secara syar`i.
Status mahar
Mahar adalah sebagai syarat sah nikah menurut ulama
Syafi`iyah sedangkan menurut ulama Hanafiyah adalah atsar (kewajiban) yang
timbul karena karena terjadinya akad nikah. Dan ulama sepakat bahwa mahar
bukanlah sebagai rukun nikah. Menyebutkan mahar dalam akad nikah adalah perkara
yang sunnah. Hal ini karena Nabi Saw selalu menyebutkan mahar dalam sebuah akad
nikah. Menyebutkan mahar dalam akad nikah juga menghindari perselisihan yang
terjadi di belakang hari karena penentuan mahar. Hal ini juga untuk menghindari
agar tidak menyamai pernikahan Rasul Saw terhadap seorang istri beliau yang
menghibahkan dirinya kepada Rasul Saw seperti yang dipaparkan dalam Al Qur`an
surat Al Ahzab ayat 50. Oleh karena itu sah nikah tanpa menyebutkan mahar dalam
akad nikah menurut ijma` ulama. Dalilnya: Al Qur`an Surat Al Baqarah ayat
236:
لاَّ
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ
تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً
"Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu,
jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan
sebelum kamu menentukan maharnya…"
Dari ayat ini jelas bahwa tidak berdosa untuk melakukan
thalaq terhadap istri sebelum menggaulinya setelajh terjadi akad nikah yang
tidak disebutkan maharnya. Ketika mahar belum disebutkan dan nikah batal bukan
tersebab istri maka sang istri berhak mendapat mahar mitsil.
Esensi mahar
Mahar disyariatkan sebagai hadiah yang wajib dan
pemberian yang telah ditentukan oleh Allah kepada para suami. Mahar berfungsi mendekatkan hati kedua pasangan agar
terbina cinta dan kasih dalam mahligai rumahtangga. Mahar bukanlah sebagai bea
ganti rugi dalam akad nikah atas kepemilikan kemaluan si istri, seperti upah dalam
akad ijarah (sewa-menyewa) atau pembayaran dalam sebuah akad bai` (jual beli).
Meskipun secara zhahir mahar yang dibayarkan adalah sebagai pembayaran dari
pemberian manfaat atas kemaluan sang istri. Namun perlu digaris bawahi
bahwa yang menikmati manfaatnya bukanlah hanya kaum suami semata, tapi kedua
belah pihak. Dalam beberapa statement ulama disebutkan bahwa perempuan lebih
menikmati dibanding laki-laki. Dan perlu ditekankan juga Maksud yang diinginkan
dari nikah itu jauh lebih mulia, yaitu untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan
dalam semua aspek hidup. Sehingganya pernikahan mendatangkan kemaslahatan yang
bersifat sosial. Memiliki banyak faedah yang akan kembali kepada sebuah
masyarakat dambaan. Karena keluarga merupakan sebuah lembaga terkecil dari
sebuah masyarakat. Ketika keluarga baik, maka sudah menjadi asset dan
berkontribusi nyata dalam melakukan perbaikan struktur sebuah masyarakat
terbesar bernama Negara. Oleh karena itu Kamal bin Humam, salah seorang ulama
Hanafiyah menjelaskan bahwa mahar disyariatkan untuk menunjukkan kemuliaan akad
nikah.
Apa yang boleh dijadikan sebagai mahar?
Dalam kebiasaan masyarakat Indonesia mahar barangkali
sudah menjadi kebiasaan dengan mempersembahkan seperangkat alat shalat dan
mushaf Al Qur`an kepada sang istri. Di Mesir dan sebagian Arab pada
umumnya mahar dengan menyediakan flat dan seisinya. Hal ini tentu saja berbeda
dari suatu Negara terhadap Negara yang lain. Status ekonomi penduduk suatu
Negara juga akan sangat menentukan jumlah mahar yanag akan mereka bayarkan. Sehingganya tidak bisa dipatok harus sama
mahar seorang istri yang dibebankan kepada suami. Bila kita memakai syariat sebagai pedoman mahar maka akan
kita temui bahwa "Segala sesuatu yang boleh diperjualbelikan, maka boleh
menjadi mahar. Apapun bentuknya yang boleh dijadikan alat transaksai dalam jual
beli maka boleh menjadi mahar dalam akad nikah. Di dalam bab jual beli
dijelaskan bahwa kategorinya adalah;[7]
1. Zatnya suci
Dengan syarat ini maka tidak boleh menjadikan barang yang
masuk dalam kategori najis sebagai mahar. Minuman keras (khamar) tidak boleh
menjadi mahar. Pupuk kandang juga tidak boleh dijadikan mahar, karena berasal
dari kotoran hewan yang masuk dalam kategori najis mutawasithah.
2. Bermanfaat
Tidak boleh menjadikan sesuatu yang tidak bermanfaat
secara syar`i sebagai mahar. Mungkin tidak dipandang manfaat karena kadarnya
yang sangat sedikit seperti menjadikan 2 biji padi sebagai mahar. Atau juga
karena zatnya tercela secara syariat, seperti menjadikan ular, kalajengkeing,
kecoa sebagai mahar, dsb.
3. Bisa diserahkan
Tidak boleh menjadikan burung yang sedang terbang dan
ikan yang masih dalam kolam sebagai mahar. Begitu juga seluruh bentuk harta
kita yang tidak ada kekuasaan kita untuk menyerahkannya. Meskipun kita adalah
pemilik harta yang sah. Seperti harta kita yang di gashab (diambil tanpa izin
yang empunya) oleh orang lain.
4. Kepemilikan sempurna
Tidak boleh menjadikan barang yang masih menjadi hak
orang lain sebagai mahar. Begitu juag menjadikan barang yang tidak ada hak kewalian
kita untuk menggunakannya. Dengan ketentuan diatas, maka boleh saja memberikan
cincin emas, mobil, rumah, toko, seperangkat perhiasan dari mutiara, tabungan,
deposito, gaji bulanan, tanah, asset perusahaan, buku, seperangkat alat shalat,
Al Qur`an, dan sebagainya sebagai mahar. Selama masih memenuhi kriteria diatas,
maka mahar dalam jumlah banyak ataupun sedikit, mahar dalam bentuk produktif
ataupun konsumtif adalah boleh dan sah.
Para ulama dahulu berbeda pendapat dalam menentukan kadar
minimal mas kawin:[8]
1) Ulama Malikiyah berpendapat
bahwa mas kawin minimal senilai 3 dirham. Mereka mengkiaskan (menyamakan) hal ini dengan wajibnya potong tangan bagi
pencuri ketika barang curiannya bernilai 3 dirham atau lebih.
2) Ulama Hanafiyah berpendapat
bahwa mas kawin paling sedikit 10 dirham atau dengan yang senilainya. Ini
berlandaskan bahwa Nabi membayar mas kawin para isterinya tidak pernah kurang
dari 10 dirham.
3) Ulama Syafi'iah dan
Hanbaliyah berpendapat, tidak ada batas minimal, yang penting bahwa sesuatu itu
bernilai atau berharga maka sah (layak) untuk dijadikan mas kawin (termasuk
seperangkat alat salat).
Golongan ketiga ini mendasarkan pendapatnya pada
a.
ayat "Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian
(wanita yang telah disebutkan dalam ayat 23-24 surat al-Nisa'), yaitu mencari
isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk dizinai" (Q.S.
al-Nisa' : 24). Kalimat "amwaal" (Indonesia = harta) dalam ayat ini
lafadznya umum tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu, dan tidak ada dalil lain
dari hadits atau ijma' para sahabat yang mengkhususkan kalimat ini, maka
keumumannya wajib diamalkan.
b. Hadits Rasulullah yang
berbunyi : "iltamis walau khaataman min hadid" ("Berikanlah [mas
kawin] walaupun hanya sebuah cincin yang terbuat dari besi).
Selengkapnya hadits ini adalah sebuah kisah: Suatu saat
Nabi didatangi seorang perempuan yang menginginkan agar Nabi berkenan
menikahinya. "Saya pasrahkan diri saya pada tuan", kata si perempuan.
Namun lantas Nabi berfikir agak panjang. Pada saat itulah berdiri seorang sahabat dan memberanikan
diri menyatakan kepada Nabi,
"Wahai Rasulullah, jika paduka tidak berkenan
menikahinya, nikahkan saja perempuan itu denganku". "Apakah kamu memiliki sesuatu untuk dijadikan
maharnya?"
"Saya tidak mempunya apa-apa kecuali kain sarung
saya ini".
"Sarungmu?!. Lantas kamu nanti mau pakai apa jika
sarung itu kamu jadikan mahar? Carilah sesuatu".
"Sama sekali saya tak punya apa-apa". "Carilah, walau hanya cincin besi".
Lelaki tadi lantas mencari-cari, namun memang dia tak
punya apa-apa. Lalu kata Nabi: "Apakah kamu hafal beberapa (surat) dari
al-Qur'an?".
"Oh ya, surat ini dan surat ini", dia
mengatakan surat-surat yang dihafalnya. Maka lantas Nabi menikahkan mereka,
"Saya nikahkan kamu dengan perempuan itu dengan mahar apa yang kamu hafal
dari al-Qur'an".
KESIMPULAN
Maskawin (mahar) adalah pemberian seorang suami kepada
isteri disebabkan terjadinya pernikahan antara keduanya, baik itu berupa barang
(harta benda) atau uang atau jasa. Pemberian maskawin hukumnya wajib bagi
laki-laki tetapi tidak termasuk dalam rukun nikah, sehingga tidak disebutkan
sewaktu akad nikah, maka perkawinan tetap sah.
Maskawin tidak ada batas banyak dan sedikitnya. Pihak
perempuan dan laki-laki boleh menentukannya. Pemberian maskawin tidak terlampau
mahal . Suami wajib membayar maskawin sebanyak yang telah ditetapkan waktu ijab
qobul. Kalau tidak dibayar pada waktu itu boleh berhutang dan wajib dibayar
sebagaimana berhutang pada orang lain. Apabila tidak dibayar akan menjadi soal
dan pertanggungan jawab di akherat nanti. Jika terjadi perceraian dengan talak
sebelum bergaul suami-isteri dan maskawin belum dibayar , maka wajib membayar
seperdua maskawin yang telah ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA
Al- Quran Al- Karim.
Amar, Abu Imron, Terjemah Fat-hul Qorib,
Kudus, Menara Kudus, 1983.
Abu Bakar, Imam Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar (Kelengkapan
Orang Sholeh), bagian dua, terjemah. K.H. Syarifuddin Anwar & K.H.
Mishbah, surabaya, Bina Ilmu, 1993.
Hassan, Ahmad, Tarjamah Bulughul Maram ,
Bandung, CV. Diponegoro, 1983.
Mughniyah, Muhamad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, Terj. Masykur A.B., Afif Muhamad, Idrus Al Kaff ,Jakarta,
Lentera, 2005.
Rasjid, Sulaiman, Fiqh
Islam, Bandung ; Penerbit Sinar Baru Algensiddo, 2010.
Shan’âny, Al-Muhammad ibn Ismâil al-Kahlaniy, Subul
al-Salam Syarh Bulugh al Marâam, Bandung,
Dahlan, tanpa tahun.
Sa’udy, Syarifuddin, Hadis-Hadis Pilihan Jakarta
Sa’adiyah Putra, 1978.
Qisthi, Bil, Aqish, Pengetahuan
Nikah, Talak dan Rujuk, Surabaya, Putra Jaya, 2007.
[1] Nabi
Saw. Menjadika kemerdekaan sebagai maskawin ketika mengawini Shofiyah putri
raja khaibar, sebagaimana hadits berikut :
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ , عَنِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ( أَنَّهُ أَعْتَقَ
صَفِيَّةَ , وَجَعَلَ عِتْقَهَا صَدَاقَهَا ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Anas Radliyallaahu
'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerdekakan Shafiyyah dan
menjadikan kemerdekaannya sebagai maskawinnya. Muttafaq Alaihi.
Lihat, Ahmad Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, (Bandung,
CV. Diponegoro, 1983), hlm. 513, Selanjutnya disebut A. Hassan, Tarjamah bulughul
maram.
[2] Dari Al-Muhammad ibn Ismâil al-Kahlaniy Shan’âny, Subul
al-Salam Syarh Bulugh al
Marâam, Bandung,
Dahlan, tanpa tahun. Selanjutnya disebut Shan’âny, Subul al-Salam,
Haditsnya ;
وَعَنْ
عُقْبَةَ بنِ عَامِرٍ رَضي اللَّهُ عَنْهُ قالَ: قالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلّى الله
عَلَيْهِ وَسَلّم: "خَيْرُ الصَّداقِ أَيْسَرُهُ" أَخْرَجَهُ أَبُو
دَاودَ وَصَحّحَهُ الحاكمُ .
[3] Imam Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Sholeh bagian dua), terjemah. K.H. Syarifuddin Anwar & K.H. Mishbah, (Surabaya, Bina Ilmu, 1993) Hlm. 128 Selanjutnya disebut, Imam Taqiyudin, Kifayatul
Akhyar,
[4] Shan’âny, Subul al-Salam, Hlm.
[5] Kata , faridhah ada pada surat al-Baqarah/2;236 ;
nihlah pada Surat an-Nisa/4;4 ; Ajr pada Surat an-Nisa/4; 25 ; Thaul pada Surat
an-Nisa/4; 25
[6] Muhamad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab,
Terj. Masykur A.B., Afif Muhamad, Idrus Al Kaff ,(Jakarta, Lentera, 2005) Hlm.
364.
[7] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung,
Sinar Baru Algensido, 2010, Hlm.279-281.
[8] , Imam Taqiyudin, Kifayatul Akhyar, Hlm.